Jumat, Juli 02, 2010

1 Juli 2010

Agnes Monica ulang tahun, tapi bukan itu yang mau gue tulis.

Quickview: nggak perlu, yang jelas ini bakalan panjang.

Sekedar kata pengantar yang sama sekali nggak ringkas.

Jam 6 sore gue memutuskan untuk ke studio (baca: lapak) Roni, temen residensi gue dari ISI. Seperti yang sering kita dengar dari para bhiksu, “Isi adalah kosong, kosong adalah isi”. Tapi Roni tidak beragama Buddha. Itu Trisno yang beragama Buddha, dan herannya dia juga dari ISI, tapi dia juga peserta residensi.

Sebelum cerita berlanjut, mungkin ada yang, walaupun ingin bertanya, tapi merasa hidupnya akan menjadi sia-sia jika harus sampai mengacungkan jari. Kenapa studio dalam tulisan ini harus dibaca lapak? Jawabannya tidak lain tidak bukan adalah karena memang lebih mirip lapak ketimbang studio.

Nah, tidak seperti yang kalian kira, gue ke studio Roni bukan untuk bicara dengan Roni. Gue ke sana justru karena tidak ada kepentingan apa-apa dengan Roni. Mungkin kalian yang membaca keheranan dengan tingkah laku gue, tapi gue pribadi udah nggak heran lagi dengan kalian yang begitu mudahnya keheranan.

Sampai di sana ternyata ada Ucok, itu temen dari ISI juga. Jadi kami bertiga di studio yang mirip lapak itu. Iqi a.k.a Chipow, Patriot a.k.a Mukmin a.k.a Majong, Luthfi a.k.a Bala, dan Walid sudah terlebih dahulu berpulang mendahului kami. Dua yang disebut pertama temen seangkatan gue dari ITB, dua sisanya dari IKJ. Jangan tanya gue mereka semua dari studio mana, tanya aja mereka kenapa milih studio itu. Karena dengan cara itu, kalian juga akan mendengarkan curhat mereka tentang dunia seni yang mereka geluti selama ini. Apa gunanya kalian bertanya mereka dari studio mana kalau kalian tidak tahu apa yang mereka kerjakan di studio? Atau jangan-jangan mereka memang tidak pernah bekerja di studio?

Nggak lebih dari semenit gue sampai sana, Ucok menerima telefon.

“Halo!” katanya. Tapi kata-kata selanjutnya gak gue pedulikan, karena buat apa mengurusi urusan orang lain? Mereka toh sudah dewasa dan sudah bisa memutuskan masa depan mereka sendiri. Buktinya, toh mereka bisa jadi sarjana. Dan dari telefon itulah cerita berkembang, walaupun sama sekali nggak wangi.

“Eh!” Tegur Ucok, “Kau jadi balik sekarang?”

“Tar lagi. Napa? Lo mo cabut sekarang juga emangnya?”

“Iya. Aku harus ke Slipi. Males macetnya kalau kemalaman.” Ya, dari namanya kalian pasti tahu gimana cara dia ngomong kata males dan macet. Tapi kalau kalian ekspatriat, mungkin kalian tidak bisa mengimajinasikan apalagi menangkap apa yang saya maksud di sini.

Selanjutnya, gue akan melanjutkan kelanjutan cerita berlanjut ini sampai situ.

Pembicaraan berlanjut pada kesepakatan kami berangkat bareng setelah Ucok terlebih dahulu kencing di toilet umum yang disediakan gratis di sana. Dan walaupun dialog antara gue dan Ucok terjadi di studio Roni, tapi satu-satunya pembicaraan dengan Roni yang gue inget adalah saat gue mau cabut dan kami saling mengingatkan untuk berhati-hati. Entah apa maksudnya, mungkin sudah tradisi orang Jawa untuk mengatakan hal itu. Itu si Roni kalau tidak salah, berarti benar, dari Jepara.

Kami berjalan kaki hingga shelter bus Gondola dan menunggu bis gratisan yang melewati jalur arah barat. Bis pergi di saat kami masih sekitar 20 meter dari shelter. Tapi bis itu bukanlah satu-satunya di Ancol, seperti juga tidak cuma satu perempuan di dunia ini (Hey!). Maka kami tetap berjalan dengan langkah yakin. Jelas keyakinan kami tidak bertepuk sebelah tangan, karena setelah berdiri lama akhirnya bis yang lain datang. Kami masuk berebutan dan saling berdesakan. Tapi untung kami kebetulan pria lajang yang belum terikat perempuan manapun, jadi kalau bersenggolan tidak ada yang melarang (Hey!!). Kalaupun itu bukan muhrimnya tapi toh nggak ada yang protes. Karena bagaimana pun juga, sekedar bersenggolan di bis gratisan yang penuh sesak itu tidaklah bijaksana kalau sampai harus dibilang haram. Memang tak kenal maka tak sayang, tapi bukan berarti harus bermusuhan saat di naik bis berbarengan. Apalagi jika harus sampai pukul-pukulan. Sayangnya pertemanan pun sering pula dijadikan alasan untuk melambaikan tangan karena takut terdampar di tengah jalan (Hey!!!).

Tantangan selanjutnya, sekumpulan bau amburadul yang entah apa saja.

Asal tau saja, saat ini masih musim liburan anak sekolah. Herannya kenapa gue dan Ucok yang udah sarjana malah kena imbasnya. Buktinya, turun dari bis gratisan wara-wiri itu kami harus bersiap pula menghadapi antrian di bridge busway shelter. Waw! Itu istilah baru.

Gue kasih Rp 5.500,- ke mbak-mbak penjual karcis. Maksudnya biar dikasih kembalian Rp 2.000,- karena nanti gue naik bis Metro Mini nomer 62 dengan tarif segitu. Biar praktis. Uang kembalian dan karcis gue masukin kantong, dan karcis gue kasih ke petugas setelah gue kencing. Mungkin petugas itu tadinya pemarah, tapi kemudian dengan merobek-robek karcis dia menemukan ketenangan yang selama ini dia cari. Mungkin bagi anda yang pemarah, menjadi petugas penyobek karcis busway bisa menjadi pilihan terapi yang menarik.

Gue dan Ucok ngobrol sembari menunggu busway yang entah di mana supirnya. Heran, kenapa sebutannya busway padahal di badan bis jelas-jelas tulisannya Transjakarta? Tapi bukan itu yang kami obrolkan. Kami mengobrolkan bagaimana caranya berpameran di Galeri Soemardja. Agak geli juga sebenernya, direktur Galeri Soemardja namanya juga Ucok, dan gue biasa panggil dia Bang Ucok. Nah, kalau kata Bang dihilangkan, dalam konteks pembicaraan ini, yang akan merespon langsung adalah si Ucok temen gue yang dari ISI ini. Agak merepotkan emang. Tapi nggak apa-apa, karena ada busway lewat yang kontan disoraki “Huuu!!!” karena dia langsung cabut tanpa mengangkut satu penumpang pun. Hahaha, sialan.



Nah, nggak berapa lama setelah si pseudo-bus itu lewat, akhirnya datang bis gandeng yang mengangkut hampir setengah shelter. Dalam hati gue cuma bisa bilang “Sialan! Kenapa cuma bawa setengah shelter?” Akibatnya gue harus mengantri di samping cowok sok jangkung tapi gendut dengan bau keringatnya yang aduhai. Tapi biarin, pasang MP3 Homicide yang bising-bising juga sudah cukup membalaskan dendam gue. Nyahaha. Dan si cowok nampak kesal, mungkin karena dia keki tapi gengsi kalau harus sampai memamerkan kekuatannya di depan pacarnya. Tapi kalau dia mau ngajak bertengkar, ya nggak apa-apa. Bukankah bumbu pertengkaran yang baik akan mempererat ikatan pertemanan? Toh gue juga punya otak buat ngelawan ototnya dia, dan nggak mahir karate juga nggak berarti gue nggak bisa kung-fu. Nah, itu dia sudah kalah poin dari gue, karena itulah kami tidak sampai berkelahi. Walaupun dia sempat mendengus beberapa kali saat gue ganti track ke lagu Padi. Mungkin, karena yang di depannya itu bukan pacarnya, melainkan dia masih Menunggu Sebuah Jawaban (Hey!!!!). Tapi kalaupun benar gue nggak mau tau urusan orang lain, karena orang lain juga nggak pernah ngurusin gue. Toh gue juga memang dari dulu kurus, nggak seperti dia itu, gendut.

Setelah sengit bertengkar dalam pikiran kami masing-masing, dengan saling menghina dan melemparkan strategi, kami pun berbaikan. Kami saling meminta maaf dalam pikiran kami sendiri. Kebetulan bis datang, dan si Ucok dengan lekas mendorong gue masuk.

Dan hari belum berakhir. Masih ada kemungkinan nggak penting yang bisa saja akan terjadi. Sebut saja, seperti ban busway yang pecah mendadak di daerah Senen misalnya.

Bukan cuma gue kok yang nggak suka orang yang bertele-tele. Banyak juga orang yang ngaku begitu tapi omongannya muter-muter kayak keong (Hey!!!!!). Masalahnya, rumah keong itu mengikuti azas golden section (atau apalah itu namanya), makanya dia bisa oke. Mungkin orang yang bertele-tele tapi kalo mukanya kaya rumah keong bisa mendatangkan hoki juga. Nah, kalo gue bukan bertele-tele, tapi jelas-jelas ngelantur dan ngawur. Karena kalo nggak gitu cerita ini akan beres hanya dalam 1 paragraf. Coba liat, sejauh ini kalian sudah baca berapa? Karena kalau dibaca sampai sejauh ini, ceritanya memang nggak penting, tapi yang penting adalah memaknai sesuatu yang nggak penting hingga menjadi (seolah-olah) penting. Kalo boleh meminjam istilah yang pernah dilontarkan temen SMA gue dalam judul film pendeknya, Ignaz a.k.a Didz bersama Radian a.k.a Jawa, maka tulisan ini menjadi suatu Cela Cendekia yang menyenangkan. Setidaknya buat gue.

Ya, jadi ada satu dialog lucu yang terjadi di shelter Mangga Dua. Itu bis yang sama yang sedang gue naikin yang jadi saksi bisu dialog aneh ini. Bis yang sama yang harus berdesakan satu jam hingga akhirnya mau dinaiki. Dasar kuda!

Shelter itu penuh sesak dan sedari sejam yang lalu tidak ada perubahan yang signifikan. Signifikan sih yang datang, tapi yang terangkut dikit. Dan bis berhenti di shelter itu, seperti biasa membuka pintu. Entah formalitas entah apa, pintu langsung ditutup kembali. Ya, jelas-jelas bisnya sudah penuh memang. Mungkin pak supir membuka pintu untuk mempersilakan yang berbaik hati untuk turun di tempat itu dan bergantian dengan penumpang lainnya. Tapi nyatanya tidak. Tapi kalau pakai logika, supir itu agak bodoh juga nampaknya. Kalau saja para tujuan penumpang busway itu cuma shelter Mangga Dua, buat apa pula mereka ngantri sampai sejam dan berdesak-desakan? Dogol. Mungkin si supir penganut aliran eksistensialis yang menganggap orang-orang yang ingin diakui dengan cara iseng bin aneh tersebut masih mungkin hidup sampai sekarang, tepatnya di Jakarta dan sedang liburan di Ancol. Mungkin.

“Ini kami udah nunggu dari sejam yang lalu. Ini ada ibu-ibu bawa bayi, kasihan ini!” Itu ada suara seorang bapak yang gue ga liat mukanya karena gue menghadap ke sisi yang membelakangi shelter dan dengan posisi yang sangat tidak mungkin untuk melihat lebih dari 120 derajat dari sudut pandang normal. Seperti yang dia katakan, dia kesal karena harus menunggu kira-kira satu jam dan harus berbuah kekecewaan pahit tidak terangkut. Pasti dia lelah. Apalagi dia terpaksa harus marah-marah dengan situasi yang seperti ini.

“Oh iya. Bayinya kasihan tuh.” Kata seorang bapak dari dalam bis, posisinya kira-kira di sebelah kiri depan gue. “Tapi ibunya nggak.” Tandasnya lagi dengan intonasi yang cukup keras. “Bayinya biarin masuk aja!” Lanjutnya untuk menutup persoalan. Dan pintu ditutup, tanpa gue tau si bayi jadi masuk (bersama ibunya) atau nggak. Karena selain bis udah penuh sesak, gue juga nggak bisa nengok.

Akhirnya, memang betul, bis yang ini mengalami pecah ban depan kanan di Senen. Hingga harus berhenti 10 meter dari shelter. Karena saking keheranannya gue dan Ucok ketawa-ketawa dan lalu tos menggunakan tangan kanan, seolah kami penyebab semua masalah ini, padahal jelas-jelas kami korban. Si Ucok bersama puluhan penumpang lainnya dengan cepat memutuskan untuk turun di tempat itu lewat pintu darurat. Sedangkan gue dan sisa penumpang lain yang juga terlantar tenang-tenang saja tetap di dalam bis. Dan lalu, betapa beruntungnya gue dengan keputusan itu, karena 2 bis cadangan datang 10 menit setelahnya, dan gue naik ke bis kedua melanjutkan perjalanan transit ke Matraman, lanjut ke Manggarai.

Amin.

Rabu, Juni 30, 2010

Bis Kota, Oh Beruntungnya Naik Bis Kota

Dan gue merasa beruntung mengikuti program residensi di Ancol ini. Apapun resikonya, toh sisi baiknya gue bisa segera menjauh dari segala permasalahan dan repetisi lawakan bodor yang hanya akan menghambat pikiran gue. Walaupun hanya untuk sementara. Bukankah, akan lebih baik untuk belajar dari pengalaman hari ini dan menjadi lebih baik di hari esok? Daripada selalu takut dan menghindari resiko yang jelas-jelas harus kita hadapi suatu hari nanti. Belajar dari pengalaman pahit sama saja seperti mengalami imunisasi. Untungnya, waktu yang tepat selalu berada di pihak gue.

Rutinitas naik bis ke suatu tempat dan pulang ke rumah. Berapa tahun sudah berlalu sejak terakhir gue sekolah? Dan setelah gue lulus dari ITB, bergelar sarjana seni (ah, nggak penting!) akhirnya secara cepat gue dikembalikan ke rutinitas itu. Dan dengan sudut pandang baru gue bisa melihat dan kembali belajar memaknai segala sesuatu yang terjadi di ibu kota.

Walaupun dominasi bau keringat para pekerja di sore hari menjelang malam sudah mulai berkurang dari suasana ini sejak kemunculan busway, tapi tetap ada kelucuan-kelucuan yang gue yakin ga akan didapatkan oleh anak-anak yang manja pulang-pergi diantar supir. Perihal mereka tetep aja stres karena macet yang naujubile, gue ga peduli! Toh, mereka tetep bisa duduk dan mengomel mencaci maki keadaan dan kesalahan dengan santai. Sementara di dalam bis kota, kebebasan hanya ada di mulut sopir dan kernet. Kalau mereka mencium pantat kendaraan lain dan harus digebukin masa, ya itu lain soal tentu saja. Tapi gue sendiri nggak nyangka, kalau rutinitas ini lambat laun menjadi sesuatu yang, walaupun harus dalam keadaan bungkam, tapi entah kenapa terasa menyenangkan.

Menyenangkan menjadi saksi tidak penting atas kejadian yang lebih tidak penting lagi, seperti misalnya tiba-tiba sopir turun saat lampu merah dan tiba-tiba kencing di jalan hanya ditutupi sehelai pintu besi, lalu kembali mengemudi dengan wajah tanpa dosa ataupun rasa bersalah. Men, itu di jalan raya! Atau bagaimana menghadapi arogansi seorang ibu dan anak dengan tabah saat merebut tempat duduk di bis yang penuh sesak. Mencoba mendapatkan jatah kursi untuk masing-masing dia dan anaknya. Atau menyerahkan jatah kursi pada kakek uzur walau kaki sebenarnya sudah menolak untuk dijadikan tumpuan lagi. Belum lagi saat muncul perasaan aneh bin bodoh saat bersebelahan dengan mbak-mbak kantoran cantik (dan wangi), untuk beberapa menit merasa dekat. Dan di menit lainnya kami harus rela berpisah di koridor busway yang berbeda.

Yah, sekelumit cerita dari kegiatan harian memang selalu menarik saat dimaknai secara lebih lanjut. Nggak usah ngiri dengan cerita gue. Hahaha. Karena toh emang nggak ada pentingnya. Tapi mungkin yang akhirnya perlu gue tulis di sini, dalam lingkungan seni yang gue tinggali selama ini gue memang selalu diajak untuk peka terhadap keadaan sekitar. Kepekaan itulah yang mungkin membedakan seniman dengan pekerjaan lainnya. Sebagai seniman, kepekaan itulah satu-satunya kekayaan yang kami miliki. Tapi bukan berarti gue sudah peka, jujur saja gue malah nggak mau terlalu peka dengan keadaan sekitar. Alasannya sederhana, biar gue bisa menarik diri dan tidak larur terlalu dalam terhadap satu masalah.

Egoiskah gue? Ha! Kalian yang menilai.

Kalaupun gue selama ini merasa diri gue beruntung dan memposisikan diri gue sebagai yang beruntung, adalah karena gue nggak punya keberuntungan lain selain memiliki perasaan itu. Mungkin kalian beruntung punya mobil dan sopir. Mungkin kalian beruntung kuliah di luar negri. Mungkin kalian beruntung karena orang tua kalian kaya (ah, tapi toh bukan kalian yang kaya, hahaha). Mungkin kalian beruntung karena teman kalian banyak. Tapi mengingat kembali tulisan Oom Kahlil, bahwa keberuntungan sejati datang dari hati yang tulus, mungkin kita memang harus melihat kembali untuk merasakan, apakah kita cukup beruntung?

Gue akhirnya bisa memaknai banyak hal karena gue juga belajar untuk bertoleransi dengan segala jenis keadaan. Dan nggak semua keadaan itu menyenangkan untuk dihadapi. Tapi mungkin juga, karena itulah gue akhirnya bisa menghadapi banyak hal tanpa harus merasa terlalu membebani ataupun terlalu jumawa.

Institusi manapun di mana kalian belajar tidak mengajarkan tentang rasa dan perasaan, mereka hanya menanamkan filter. Pelajaran tentang rasa dan memaknainya hanya akan dapat dipelajari setelah membuka diri dan menerima dunia luar.

Akhirnya, hanya ada satu kata penutup: “Cieee!”

“I’m jealous to the whole world”

Ouw yea, Lois Lane mungkin berhak untuk ngemeng kayak gitu. Dan setelah sekian lama (sekitar 12 tahun) sejak terakhir gue nonton film itu, akhirnya gue bisa memahami dan mengerti maksud ucapan doi.

Well, okay! Menurut gue sih, hal itu lucu. Selama ini gue melihat wanita dihadapkan pada kodrat dan kesombongan untuk dipuja-puji. Tapi toh di sisi lain mereka enggan mengakui kalau mereka lemah. Dan, oh, oke, gue belajar satu hal yang pasti tentang tipe wanita kayak gini; gengsi mereka selalu lebih besar dari akal sehat mereka untuk mengatakan yang sejujurnya. Bahwa mereka merasa tidak aman akan banyak hal sepele. They always feel insecure. Apapun itu, perasaan tidak aman-lah yang akhirnya membuat mereka membentuk benteng dan, yah, pada akhirnya mungkin banyak bersikap kontradiktif. Antara perasaan dan ucapan menjadi sangat berbeda, begitu kata para sesepuh.

Tapi, memang banyak wanita cukup tegar dan mampu menghadapinya. Gue tau itu. Tapi mungkin Naga Bonar benar perihal setiap wanita selalu ingin dinaikkan setali, setangguh apapun dia. Takut menyinggung perasaan orang yang akan tersinggung. Oke, gue sudahi yang ini. Hahaha. Lagipula, sudahlah. Wanita benci kalau dibaca pikirannya, walaupun sebetulnya sering kali mereka butuh itu juga.

Antara Lois dengan dunia ini, mana yang lebih penting buat Kal-El? Kehilangan dunia berarti juga kehilangan Lois, tapi untuk menyelamatkan dunia itu berarti menghilangkan Lois dari pikirannya. Beratnya, Lois nggak pernah peduli dan nggak pernah suka sama Clark. Yah, semua orang tahu siapa yang dia suka, walaupun itu bukan berarti seluruh dunia tahu siapa itu Lois Lane. Sebodo.

Dalam kasus yang sama cerita berbeda, gue memahami kata Peter, “This is my gift, this is my curse”. Keberadaan pahlawan super hanya sebuah gambaran ketakutan dan kelemahan kita yang selalu membutuhkan pertolongan. Oh, ya, tapi nggak salah-salah amat kalau itu memang harus terjadi. Toh orang yang lebih kuat memang berkewajiban membantu. Tapi Non, maaf, dalam kasus ini pahlawan super nggak ada bedanya dengan manusia biasa yang punya emosi dan punya keterbatasan. Doi bukan Tuhan, dan gue juga bukan pengkhotbah. Jadi sudahi saja wacana super a’la Mario Teguh ini. Super Mario!

Kalau bukan karena cemen dan manjanya orang, mungkin Lois nggak akan sampe ngomong kaya yang di atas itu. Kenapa? Karena orang pasti udah nggak butuh si manusia baja itu lagi. Tapi mungkin juga, toh karena Lois juga cemen maka Clark suka. Dan bukankah dunia berjalan seperti itu? Hahaha.

Kritik: Sotoy lo Ko!

Respon: Biarin! Gue kan Virgo, ye!

It’s funny to know some things spins off. So then we can learn to live our life to the fullest. Selalu ada kesempatan untuk belajar, tapi selalu saja ada beban untuk membuka mata. Ah, itu sih cuma alasan saja. Yang jelas, maksud gue memang butuh waktu untuk menyadari korelasi antara satu hal dan hal lainnya. Walaupun sekilas berbeda, tapi inspirasi datang dari mana saja. Apa sih?

“Karena menurut pengalamanku, saat kau berada di dasar, satu-satunya jalan tersisa adalah kembali ke atas” – Thaddeus Thatch, Atlantis (kira-kira begitu setelah diterjemahkan).

NB 1: Ngomong-ngomong, kenapa di sepanjang film Superman II isi banyolannya ga penting semua gitu sih?
NB 2: Eh, itu belum termasuk celetukannya Lex Luthor dan bapak-bapak yang tetep nelpon waktu Zod nyemburin badai.

Call Me Garfield

Yep, sekali-kali dengan judul bahasa inggris. Itu jawaban gue kalau-kalau kalian mau bertanya, kenapa tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang selalu gue bangga-banggain.

Oke, cukupkan bacot ini dalam nada sol-mi-re, minor!

Lalu 8 dari 10 pembaca akan bertanya, kenapa dengan Garfield. Dan maka, ijinkan gue untuk memberi selamat kepada pasangan yang tidak bertanya, karena itu artinya kalian menolak untuk mengikuti arus.

Apapun itu.

Pertanyaan pertama butuh lebih dari 3 paragraf untuk menjawabnya. Kenapa gue tahu itu? Jelas, karena gue penulis jawabannya.

Paragraf pertama, ya, tentu saja kami berdua mempunyai dua kesamaan. Coba kalian ingat seberapa gendutnya kucing itu dan seberapa pemalasnya dia. Seperti Garfield, gue punya hak untuk menjadi gendut. Hanya saja, sayang, itu nggak pernah terjadi. Tapi walaupun gue punya hak itu, toh kalaupun bisa gue nggak akan mau. Karena gue bersyukur menjadi diri gue apa adanya. Betul?

Nggak juga. Sebenernya itu salah. Karena bagaimanapun juga, gue sering juga merasa kesal dengan keterbatasan diri gue. Menjadi diri sendiri berarti pula memaklumi keterbatasan diri. Manusiawi untuk menjadi kesal dan marah, tapi itu bukan pembenaran. Lagian kayaknya susah jadi orang gendut, susah bawa badan. Entah aneh entah untung, gue nggak pernah bisa gendut. Hahaha.

Satu yang pasti, Garfield itu pemalas. Dan kalaupun di sedikit kesempatan dia menjadi pahlawan, itu bukan karena dia membela kebenaran tapi lebih karena kebetulan. Karena walaupun benar dan betul itu bermakna sama, tapi imbuhan ke-an membuat arti keduanya berbeda.

Ah, bacot!

Seperti Garfield, gue juga punya hak untuk males. Males itu menjadi dosa kalau dia menjadi pangkal kebodohan. Jadi kalo males, asalkan pinter, ya nggak apa-apa. Ya, tapi itu pun pembenaran, jadi jangan dipercaya. Ah, tapi toh terlalu rajin juga nggak baik untuk pencernaan bukan?

Eh, ini serius. Jangan dianggap bercanda!

Gue orangnya males untung mengulang-ulang sesuatu. Gue males untuk membuat sesuatu yang bermakna sakral menjadi profan. Tapi yang jelas gue males jadi orang bego, walaupun sering juga dibego-begoin justru mendatangkan keberuntungan. Well, I’m the lucky bastard afther all. Gue males melakukan hal yang nggak penting. Jadi kalau gue melakukan hal nggak penting, itu tandanya gue sedang menganggap hal itu penting. Banyak lah kemalesan gue kalo diitung-itung. Gue juga males nulis, tapi tulisan gue sering panjang-panjang. Jelas bukan lantaran gue rajin nulis, tapi lantaran gue males ngoreksi apa yang udah gue tulis. Dan yang terakhir, gue males untuk terlalu jujur. Walaupun gue juga ga suka bohong. Jadi, percaya nggak percaya, itu terserah kalian. Intinya, seperti si kucing gendut itu gue pemalas yang (untungnya) sering keliatan rajin.

Satu temen gue pernah bilang ini berkali-kali: “Have fun with your life”. Apapun maksudnya dia ngomong itu, yang jelas gue inget karena menurut gue quotes itu nggak jelek-jelek amat. Tapi bagus juga gue inget quotes itu, karena dengan begitu semua hal berat bisa gue hadapi dengan lempeng. Nggak perlu berlebihan dalam menilai sesuatu, yang penting hidup itu jadi terlihat menyenangkan. Betul nggak?

Kenyataan memang menyebalkan, tapi bisa jadi itu karena kita baru sampai pada sebagian kecil perjalanan hidup kita. Hidup ini nggak kaya baca buku, bisa di-skip. Nggak juga kayak main game, bisa di-restart. Apapun yang lo lakukan, yang terjadi tetap terjadi. Jadi jangan menyesali masa lalu yang udah lewat, apalagi kalo itu bukan salah lo.

Hafe fun with your life is a new way to giving up the grudge and smile up for tomorrow. Kuncinya, selalu berikan yang terbaik dan apapun kerjaan yang lo mulai kerjakan sampai selesai. Cie, gue udah kaya Super Mario Teguh. Zuper!

Pada pertanyaan selanjutnya, hanya 1 dari 8 pembaca yang akan bertanya. Ada apa dengan nada sol-mi-re? Minor pula! Tapi biarlah itu jadi jawaban atas sebuah ungkapan sentimentil belaka. Karena gue lebih memilih untuk diam, daripada bicara bohong. Ya, itu pun karena sompral atau meracau tidak masuk dalam hitungan bohong.

Kalian pikir semuanya berserakan? O`ho, kalian salah. Semuanya hanya berulang, dan akan terus berulang. Semua jawaban sudah disediakan sejak di awal, sayangnya kebutuhan kita terhadap semua jawaban itu baru muncul saat kita bertanya. Dan, maka, diamlah. Karena cerita terbaik tidak lahir dari aplus.

Tidak, karena dia yang melahirkan aplus.

Sisanya, sudahi saja seperti lirik lagu Efek Rumah Kaca. Untuk siapa tulisan ini dibuat, “Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa”.

Senin, April 19, 2010

Cara Berbicara dan Membicarakan


Beberapa detik yang lalu, entah kenapa gue merasa nyaman berada di lingkungan Seni Rupa ini. Nggak pengen lepas. Tapi gue tau dari pertama gue memasuki ruangan ini, suatu saat gue harus cabut. Nggak berarti sekedar "cabut" yang dilontarkan bocah-bocah untuk menandakan dia akan segera pergi dari hadapan kalian. Yang ini agak berlebihan. Buat beberapa orang bisa berkesan sentimentil bahkan.

Tapi, toh kita nanti bisa ketemu lagi. Direncanakan ataupun nggak.

Dan lalu, apa yang gue tinggalkan selagi peran gue belum sepenuhnya memudar. Selagi waktu gue belum sebegitu habisnya untuk dijadikan contoh, yang toh tidak juga sempurna. Gue pengen berbagi cara kerja gue untuk kesempatan yang terakhir kali. Karena setiap orang bisa menjadi seniman, karena setiap orang bisa tampil keren dalam segala sesuatu yang dilakukannya.

Apa yang gue inginkan sebenernya simpel. Gue cuma pengen membuat hal simpel jadi keren. Nyambung-nyambungin ke industri, bukannya itu peran industri? Membuat bahan mentah jadi bahan jadi, atau menambah guna suatu barang. Dan kalaupun industri itu adalah jasa, mungkin cukuplah kalau gue dianggap berjasa menjadi contoh yang baik. Kalau nggak pun, namanya juga manusia.

Tapi nggak lah ya. Kalo udah disertai usaha mana mungkin hasilnya jelek. Ya nggak?

Maafkan kalau teori Tabula Rasa-nya Pak Prim harus bekerja di kepala gue, menyebabkan gue terlupa akan banyak hal kecil yang terselip di pojokan otak. Tapi Bruce Banner mana menginginkan Betty Ross hilang dari akal pikirannya?

Sudah saatnya gue bertanggung jawab terhadap kata-kata gue. Sudah saatnya gue mengeluarkan catatan lama dari laci. Seharusnya tidak ada kata selamat tinggal, karena "keluarga" tetap "keluarga" untuk selamanya.

Senin, Maret 01, 2010

Salam Bahasa

Sempat terpikir bagaimana caranya membangun kata-kata yang terdengar keren saat dibacakan dengan menggunakan bahasa indonesia, walaupun notabene itu tidak menggunakan EYD yang baik dan benar. Pemikiran itu mulai muncul sejak gue dan zaldy menahkodai pameran KGB '08 sebagai kurator. Ada pertanyaan yang tersembur dari congor seorang anak, yaitu "Kenapa harus pake bahasa indonesia sih?" Dan gue membalikkan pertanyaan itu dengan premis lain yang berlaku sebagai pertanyaan balasan "Emang lo pikir bahasa inggris lebih keren?"

Maksudnya, dalam dunia institusi memang banyak kata serapan yang digunakan untuk mempersingkat suatu penjelasan. Tapi ketimbang terlalu bertele-tele atau menyuburkan redudansi ngawur, alasan penggunaan kata serapan di era globalisasi ini ternyata lebih banal daripada pemikiran itu sendiri. Nampaknya bahasa inggris memang terdengar lebih keren dan lebih mengglobal kerimbang bahasa indonesia yang terdengar mistis itu. Yah, gue pun akan mundur kalau ditanya apa gue jago dalam menggunakan bahasa indonesia. Gue akan bilang gue cupu. Tapi gue berusaha buat memperbaiki bahasa indonesia gue. Karena toh, sepengamatan gue, bahasa indonesia dengan EYD-nya itu akhirnya nggak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan sokongan bahasa lokal, bahasa terminal, bahasa gaul, bahasa serapan, bahasa anarki, dan bahasa politik. Semua sub-bahasa itu memiliki gramatikanya sendiri yang membantu logika bahasa indonesia sehingga ia dapat berdiri dan memiliki sikap layaknya bahasa dunia lainnya. Akui saja bahwa banyak bahasa indonesia yang tidak memiliki padanan kata dalam bahasa inggris. Bukan karena ia bertele-tele, tapi lebih karena sifatnya yang spesifik. Itu belum lagi jika dikawinkan dengan bahasa daerah. Contohnya bahasa jawa memiliki kata "kopet", atau bahasa sunda dengan "tisoledat".

Pernah dengar anggapan orang yang mengatakan bahasa jerman itu maskulin-tegas atau bahasa prancis itu feminin-romantis? Kalau begitu gue berani aja bilang bahasa indonesia itu adaptatif-politis. Seperti bunglon yang mendalangi gerakan non-blok, bahasa indonesia dapat bermanuver dalam banyak sifat. Itu yang membuat dia supel di antara sekian ribu bahasa dunia. Kekayaan ini disebut orang asing dengan istilah lingua franca, itu kalau gue tidak salah menangkap. Toh gue membuat tulisan ini biar kesannya keren dan seperti berpikir.

Tidak banyak yang gue pikirkan memang, tapi membongkar-pasang bahasa indonesia buat gue menjadi sesuatu yang menarik ketimbang menjiplak argumen berbahasa inggris yang singkat. Dan, oh ya, menjiplak bahasa spanyol itu beda cerita, karena toh mata kita tidak terbiasa dengan runut simbol bahasa yang seperti itu. Sampai di sini ada sanggahan?

Kalau tidak, gue lanjutkan tulisan sampah ini lain kali. Itupun kalau ingat.

Kamis, Januari 07, 2010

Catatan Nomor 336: Keterlambatan Tidak Pernah Datang Tepat Waktu

Setelah degup jantung yang remuk redam melacur tak laku serupa kicauan iklan. Setelah semua lelah bercampur karma dan terkalang fatamorgana fajar harapan. Setelah semua butir dan bulir remah nomaden tersisa tak dapat lagi ditelan. Setelah derit dan desis ditempa menjadi parang yang hanya dapat berbicara dalam satu bahasa tanpa suara. Setelah semua strata limasan antara kau dan aku runtuh menjurang. Setelah semua pesan tersampaikan sehingga menghilangkan pertautan. Setelah ladang kekecewaan menguning dan siap untuk dirajang. Setelah setiap bulir alasan merundukkan setiap tangkai pertanyaan. Tidak ada lagi yang kau sisakan selain teka-teki yang hanya akan terjawab saat bumi berhenti memutari hari-hari membosankan.

Dan seperti saat derit pintu kalam menandai kepergianmu silam. Dan seperti saat semua huruf dan angka temaram setia menemani pijar bahasa yang hampir padam. Dan seperti itulah aku khatam dengan mata merah mencalang tanpa sempat terpejam sejak kau sematkan dendam di antara kedua bilah kelopaknya yang meladam. Dan kesalah pahaman yang tidak bisa tidak muncul setelah semua keegoisan terkuras akan kutukar dengan asuransi yang memastikan kepergianmu abadi. Dan jika suatu saat nanti kau akan kembali, letupan angkara dari udara yang kau hirup menghempaskanmu lagi pada titik di mana kau menyadari arti sendiri.

Mungkin kita pernah bersama dan berbagi parut luka dan lebam. Mungkin peran dan jasamu pernah mengorosi ingatan bagai asam. Mungkin aku pernah menahan pitam saat gelombang keegoisanmu lebih menghantam dari godam. Mungkin satuan ruang dan waktu tak pernah jitu dalam memprediksi kehadiranmu. Mungkin kata janji dan pasti pernah kuhapus dari kamusku. Mungkin titik nadir ingatan itu tidak ada artinya lagi saat denyut riba mencapai muara dan pamrih mulai menggerogoti nadi dalam sekejap mata.

Catatan Nomor 312: Ucapan Maaf Seorang Teman Tidak Pernah Datang Bersama Rasa Bangga

Gue pikir menjadi seorang teman yang baik merupakan kebaikan yang melebihi segala sesuatu. Selalu ada di saat dibutuhkan, selalu membantu dengan tulus, selalu memberi jalan pada setiap sudut mati, selalu tanpa pamrih. Nggak butuh alasan untuk menjadikan sesuatu lebih baik buat temannya. Nggak mengharapkan dan nggak membutuhkan balasan untuk setiap hal besar yang telah dikerjakan, tapi tetap mau menerima setiap kebaikan dengan besar hati.

Gue pikir gue bisa jadi orang yang seperti itu, dan ternyata gue salah. Gue gagal dalam membuat segala sesuatunya lebih baik buat temen-temen gue. Berusaha mati-matian dalam berperan sebagai teman yang baik, mencoba berpikir positif dalam setiap kekacauan. Ternyata semuanya hampa seperti tiang keropos yang dikerjakan kuli borongan sok tahu, menunggu saatnya runtuh dan menimpa mati semua orang di bawahnya. Mungkin benar kata Nicole, "Tiang itu sudah terlalu keropos, dan aku harus pergi untuk membangunnya lagi dari awal".

Mungkin ini memang ganjaran yang harus diterima, karena telah menjadi teman yang buta. Mungkin kekecewaan ini adalah buah dari ketidak becusan dalam menjaga tiap simpul tali pertemanan. Sehingga ia akhirnya terlepas satu persatu, sehingga ia akhirnya putus dimakan usia, sehingga ia akhirnya terlalu tegang terbentang dan berai.

Tidak pernah nalar dan logika datang bertautan dengan gelombang pasang perasaan kecut dan kerdil. Tidak pernah seharusnya pertemanan berawal dari rasa butuh dan keperluan sengit. Mungkin apa yang terjadi hari ini terjadi sejak hukum tersebut dilawan. Mungkin akhirnya semua yang kita anggap nyata memang tidak pernah ada dari awal. Mungkin semua kemungkinan memang sekedar harapan yang tidak pernah mewujud dan meraga dalam satu sosok pribadi yang kita harapkan.

Mungkin semua yang kita harapkan akhirnya harus dapat dipasrahkan ke dalam gurat kesia-siaan. Saat gue membayangkan sebuah skenario yang memiliki epilog melegakan, ternyata gue baru sadar akan keberadaan sebuah awal masalah di depan. Dan setelah semua tenaga gue terkuras, ternyata itu baru membawa gue menyelesaikan cerita pembuka. Dan dengan kebodohan-kebodohan itu gue telah menipu mereka.

Selasa, Desember 22, 2009

Crèche


Tercium bau kenangan yang meyeruak semerbak dari rumah. Ingin mampir dan mendekat. Merasakan kalau bisa. Walaupun itu semua pasti tentang masa lalu. Lagi dan lagi. Pohon natal kecil terpasang di sudut meja telpon. Pohon akhirnya bisa dibeli sewaktu kaki menjejakkan lantai sekolah dasar. Pohon yang walaupun kecil tapi menyimpan banyak kenangan. Ada harum masakan di setiap dahan plastiknya. Makanan yang biasa saja, tapi selalu tersaji secara khusus.

Menyisiri kaki pohon yang rapuh, terlihat kartu-kartu pos yang diberikan secara khusus oleh teman baik. Dan selalu ada satu dua nama yang spesial di sana. Kartu-kartu yang kini tergantikan dengan teks digital. Mungkin pena terlalu cepat terbakar. Mungkin tinta terlalu cepat mengkhianati pikiran.

Memang hari-hari seperti itu bukan tentang mendapatkan pakaian baru. Mungkin hari-hari seperti itu hanya sesederhana untuk bersyukur dan merekapitulasi semua pengeluaran dan usaha, peluh dan darah, bulir dan remah. Mungkin seharusnya di hari seperti itu setiap orang lebih baik tidak menangis dan meratap. Mungkin seharusnya mereka tertawa bahagia. Karena setiap kelahiran harusnya disambut bahagia. Dan kematian pun seharusnya tidak disambut dengan kegetiran. Tapi apapun yang terjadi-terjadilah. Hanya saja jangan pernah menyesal dan terpuruk.

Senin, Desember 21, 2009

Saatnya TA, Saatnya Berleha-Leha, Saatnya Bercerita


Saat ini gue makan popmi yang komponen monosodium glutamatnya belum tercampur merata. Tapi nggak masalah, kerena toh masih enak-enak saja. Kecuali kalau air-yang-terlalu-banyak dihitung sebagai persoalan.

Pada suatu hari di suatu ketika saat gue sedang tidur dalam senyap, seorang anak kecil menghampiri gue dalam mimpi. Dengan kuda poni dari resin dan pancang carousel (what was that? carousel, phonecell, and michel? another jumble 3 and selsel business?), dengan blekberi di tangan dan messenger di layar. Every feeling to talk is a text. Now you text to talk.

Tapi di sini nggak ada yang salah. Yang salah adalah gimana gue udah nggak bisa berbicara dalam mengungkapkan apa yang gue rasakan. Di saat dunia sudah terlalu berisik, lebih baik gue diam. In the world full of sound, all you need to do is listen. In the world full of noise, all you need to do is move. If the world full of voice, and if you are granted a wish to mute one, whom would you pick?. For the sake of my life I believe you would never pick yours from the entire lines.

Berbicara tentang pameran everything you know about art is wrong. Berbicara tentang semua kesimpang-siuran fungsi seni yang membanal hingga sekedar menjadi hiasan profan. Berbicara tentang intereferensial yang terlalu jemawut dalam setiap catatan. Yang terlalu berakrobat dalam setiap penampakan yang gagal menyampaikan. Catatan kuratorial apa itu? Mencomot berbagai referensi dari apa yang dengan mudahnya dapat kita temui, di mana letak orisinalitasnya? Di mana letak wawasan studi akademisnya? Di mana letak kekuatan jualnya?

Atau jangan-jangan memang seperti itulah tabiat para kurator selama ini? Asal comot dan asal keren. Asal tak banyak orang yang tahu dan bahasanya terlihat seperti wah dan berpendidikan maka hadirlah di situ nilai jual. Entah kenapa pada titik ini kurator lebih terlihat seperti binaragawan ketimbang kuli pena di balik kaca mata gue. Atau nikmati saja keadaan ini, siapa tau akan bermunculan banyak kelatahan-kelatahan lain (dalam bahasa inggris diistilahkan dengan kata "after").

Mungkin yang salah adalah institusi seni yang terlalu lama mengagung-agungkan hukum dan dalil sehingga buku menjadi dewa bagi kaum librarian nekrofilik. Mungkin salah mereka juga kita tidak pernah diajarkan hal baru. Mungkin salah mereka kalau kita hanya boleh lulus atas apa yang sudah pernah dibuat. Mungkin salah mereka juga kalau perasaan dan ego orisinil itu mati. Sebab setiap kali kita merasa orisinil, kita harus kembali berhadapan dengan permasalahan lama di mana kita harus menemukan karya serupa yang sudah pernah dibuat sebelumnya. Seolah berkarya menjadi seperti iuran yang nantinya akan dikocok dalam arisan pameran di galeri-galeri besar yang tidak tahu apa isinya sebelum kita membuka gulungan kertas dan membacanya keras-keras.

Tapi toh saat gue buka Alkitab, di situ Raja Salomo (Nabi Sulaiman, King Solomon) pernah menegaskan bahwa tidak ada yang baru di dunia ini semuanya sia-sia dan semuanya sudah pernah dilakukan dan terus berputar. Yah, bahkan para avant-gardist sudah dibunuh sejak ribuan tahun yang lalu, dalam Kitab Kebijaksanaan yang ditulis sang raja.

Jadi apa yang salah tentang seni dan apa yang membuatnya tampak seperti itu? Apakah seniman tidak pernah tahu apa yang ia kerjakan? Apakah mereka terlalu malas bertanggung jawab atas karya mereka? Atau memang benar selama ini perihal words narrow art? Atau jangan-jangan semua yang kita lihat ini hanya akumulasi permukaan masalah yang kehadirannya seperti gunung es. Atau jangan-jangan semua ini hanya seolah salah. Mungkin semua ini hanya pelatuk yang memicu diskursus selanjutnya, mungkin juga seni memang sudah mati sejak ia dilahirkan dalam kesalahan. Mungkin yang kita lakukan selama ini hanya mengusung keranda mayat seni yang sudah lama mati.

Mungkin seni sudah lama mati bersama tuhan. Mereka mati dikhianati profit, dominasi, dan komodifikasi, dan ekspansi korporasi. Maka sejak itulah seniman bangkit dan berusaha mendekati fungsi tuhan dan menjadi tuhan-tuhan kecil (setidaknya bagi diri mereka sendiri). Masihkan kita merasa perlu untuk menyediakan waktu, menyempatkan diri menyaksikan acara realigi kacangan, yang hanya peduli rating, tapi tak berujung pangkal dalam menyelesaikan masalah dialog macet antar agama di negara ini? Mungkin Zapatista lebih berhasil menciptakan dialog terbuka tanpa narasi yang panjang lebar ketimbang kita yang katanya beragama, beretika, dan cinta damai ini.

Nic, Nic, sini dah. Gue pengen ngomong.

Suatu hari seorang teman pernah datang dan melihat draft catatan kuratorial yang gue buat. Waktu itu gue sadar kalau membuat catatan itu nggak akan berguna banyak, selain hanya menambah ketajaman insting dalam melakukan manuver dan akrobat bahasa. Gue bukannya pengen ngebocorin rahasia kalo temen gue yang ini anaknya labil dan sempet beberapa kali nangis tanpa sebab, tapi apa yang gue pengen sampaikan adalah omongannya. Bahwa dia pernah bertanya "Emang setiap catatan seni harus dibuat kayak gitu ya? Bisa nggak dibuat biar orang awam kayak gue bisa lebih gampang nangkepnya?" Yah, tapi omongan bodoh itu nggak menghasilkan apa-apa selain kebingungan lain yang menyebalkan. Kebingungan untuk menetapkan yang mana yang lebih pantas berada di dalam sorot lampu panggung. Antara permasalahan majas visual atau metafora.

Percayalah, gue memperhatikan dia lebih daripada gue memperhatikan pohon atau omongannya.

Sabtu, Desember 19, 2009

The Unimportant But Somehow Important


  1. mari kita gebrak langit dengan kepalan tangan mengangkasa dan belati terhimpit pada mulut...
  2. dengan beban yang harus secepatnya dilarikan, tenggat waktu yang tak dapat diabaikan, dan ketidakmungkinan untuk mengulang kebebalan...tidak ada lagi yang tersisa untuk disesalkan...
  3. belati terhimpit pada mulut...menghalau gertak gigi, mempersingkat kata, dan merapatkan bahasa...
  4. selamat berjuang, hei teman2 yang akan berpameran dalam waktu dekat ini...saya akan segera menyusul kalian dengan gebrakan selanjutnya!!!...
  5. seperti air beriak tanda batuk berdahak...seperti kacang lupa kulitnya...seperti orang tua lupa, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya...
  6. mau gambar kelinci kenapa jadi kura-kura?...mungkin ini akibat makan udang di balik batu... mau gambar kura-kura dalam perahu, kenapa jadinya malah bahtera rumah tangga?...mungkin nenek moyangku bukan pelaut, mungkin ia petani kacang lupa kulitnya...
  7. ada apa sih dengan peribahasa berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian?...apa sejak jaman nenek moyang udah banyak pemalakan di laut?...
  8. mencoba menggambar kura-kura dalam perahu...kenapa jadinya malah bahtera rumah tangga?...
  9. cuma orang narsis yang selalu bisa melihat ke belakang...itulah alasan mengapa mereka setara dan serupa dengan sopir dan tukang ojek...
  10. mau gambar kelinci kenapa jadi kura-kura?...oh, pantes kelincinya ketiduran pas lomba lari, jadi ga kegambar...
  11. mau beken kaya Ada Band?...gantungkan cita-citamu setinggi langit tujuh bidadari...
  12. apa mending jadi provokator aja?...bisa sekalian merangkap maling teriak maling...
  13. ga enak jadi maling...ga bisa lempar batu sembunyi tangan...tangannya kepanjangan...
  14. pagi-pagi gini enaknya makan udang di balik batu...
  15. good luck lucky bastard!...
  16. artists are freak because they destruct something good in order to make greater work...
  17. both God and I know that you are lying...
  18. you never know that someone is hurt, when you think no one need to know what hurts you...
  19. we don't point at ourselves because we can never see our back...
  20. lho, gue pernah denger dari seorang mertua seniman grafis bahwa "...seniman adalah manusia yang paling dekat dengan Tuhan"...jadi mungkin pernyataan itu ga salah-salah amat...hehehe...God I'm baptized... 0:-D
  21. Tuhan sempat bertanya "Mau jadi apa kamu nanti?"...gue jawab "Mau jadi seperti Engkau"...dan ternyata seperti itulah rasanya menjadi seniman...
  22. yang terdengar hanya suara nafas, degup jantung, dan goresan jarum di atas plat...terima kasih...
  23. dan hanya Tuhan boleh tindas kami, itu pun kalau Ia mau...
  24. pengen lempar sepatu tap-dance ke muka orang-orang yang banyak bacot...
  25. memang cuma etsa yang bisa bikin kulit putih... nb: maaf jika menyinggung para cukilers, sabloners, dan lithographers...
  26. teman2 bilang saya putihan...mungkin karena terlalu lama mendekam di penjara (baca: studio)...
  27. Dijual cepat! Semangat: tipe 45 untuk anda-anda yang sedang TA! Hubungi: xxx6-84040-xxx. Dijamin tokcer...
  28. don't think about a thing when you feel you don't want to...
  29. the easier you find someone, the harder you found them when they dissapear...
  30. nowhere to find when don't want to be found...
  31. google earth: travelling without moving...
  32. "cukup biarkan saya mengklaim seni sebagai jalan satu arah yang dapat membawa saya kepada anda"...
  33. mendrawing lagi!... ada gak ya orang kurang kerjaan yang iseng ngitung jumlah garis di karya gue...dan bener...hahaha...
  34. kalian para kaya dunia hanya sejumput bilangan yang mengais pertolongan kami kaum papa yang telah memahkotai dunia...
  35. threading borderlines by giving you all the things you need (appropriating C.A.J)...
  36. it's a constant wave that turns the lozenges of life to noncombustible zephyr...
  37. terhambat kodrat jengat pada tengat plat laknat tanpa syarat...
  38. ya Tuhan, seandainya ada satu hari yang tenang, saya akan berusaha melakukan 3 pengasaman bertingkat, SEKALIGUS!...
  39. saat kalian lihat apa yang kalian ingin lihat, maka aku akan menjejalkan mata jumawa kalian dengan propaganda penghabisan yang elegan...
  40. hidup seperti tahanan Pulau Buru...saat sakit berlanjut: KOP-ROLL sampai berkeringat...
  41. berkata: "Jangan harap menantang senja kalau tak dapat menyambut pagi!"...
  42. mencalang semiotika kosmetika dan wana nirmana panca indra anak naga di bibir kawah candradimuka...
  43. ulangi kata-kata "Sakral-Profan" di kepala, sebanyak yang anda butuhkan, hingga jadi waras kembali...
  44. your body is a graphic art!...
  45. Nderek Dewi Maria,temtu gengkang manah... Mboten yen kuwatoso, Ibu njangkung tansah... Kanjeng Ratu ing swarga, amba sumarak samya... Sang Dewi...mangestonono...
  46. you MAKE them happen!...
  47. no me chingues!...vete a la chingada!...
  48. Ισχύς μου η Αγάπη του Λαού (Ischys mū i agapi tou laou)...
  49. media nox meridies noster...
  50. let's play hide and seek...first body found will be the dead one...

Minggu, Oktober 18, 2009

Entah Apa

Andaikata begini, lo menonton drama korea dengan bahasa korea dan subtitle bahasa inggris. Pastinya subtitle itu seolah terdengar di kuping, menggantikan omongan bahasa korea yang nggak lo mengerti itu. Dengan intonasi yang tetap terdengar hingga seolah bahasa inggris itu beraksen korea. Di luar permasalahan aktor yang ganteng atau aktris yang cantik, yah kita tahu bahwa ekspresi itu bisa bersifat sangat universal. Hingga seandainya (lagi) subtitle bahasa inggris itu dilenyapkan dari layar, kita tetap tahu perasaan yang ingin disampaikan si aktor dalam perannya.




Oke itu hebat, tapi jangan permasalahkan sinetron indonesia yang jeleknya sebelas-duabelas itu. Kita semua tahu siapa yang bersalah atas kebanalan acara televisi indonesia. Sekali lagi jangan permasalahkan sinetron indonesia dengan akting sampah itu. Yang hanya beramunisikan zoom -in, zoom-out, dan sfx midi 16-bit kacangan. Jangan permasalahkan apa yang ada dalam kepala orang hungaria seandainya mereka menonton sinetron indonesia tanpa subtitle. Karena cukup satu kata, sinetron indonesia tidak layak jadi sumber devisa negara.

Beberapa orang memanfaatkan ambiguitas yang terkandung dalam kata-kata yang akrobatis untuk menjadikan tulisan mereka menarik. Beberapa lainnya cukup senang dengan kebanggan yang dihasilkan. Beberapa orang tidak ingin terlihat bodoh karena dia tidak mengerti apa yang dia tulis. Sayangnya dalam kasus-kasus seperti ini gue jarang mikir gue bakal nulis apa.

Surat Mati Yang Mengingkari Bukti

Judul Sepanjang Isi Dengan Satu Inti: Gosip Lampu Merah Lawakan
Saat semua orang ingin didengarkan
Mereka berteriak riuh-lantang
Dalam tumpukan bahasa yang tak lagi dapat dicerna

Ambil satu dari kumpulan itu
Dalam senyap coba simak apa yang ia hasilkan
Taruhan, itu tidak lebih dari berita spekulasi yang digembar-gemborkan
Konsumsi pagi para budak belian yang diacuhkan majikan

Tempelkan kembali telinga mereka yang terlepas
Sepasang untuk satu orang
Mungkin perlahan desing koar ini menjadi sayup

Atau sekalian saja putuskan pita suaranya
Agar letup komat kamit cukup menjadi impuls informasi visual
Semua orang ingin didengarkan
Sayang tak satupun dari mereka dapat mendengar




Melingkar Perak di Sisi Nadi...
Menjalani kesibukan tanpa arah dalam genangan darah
Membalut lagi ranah yang sudah tertutup tanah
Memandangi batin yang tak terjamah
Mendeskripsikan emosi tersirat pada secercah rona wajah

Mencalang tafsir mimpi pada barisan waktu penghalang masa
Bersengketa dengan nipah logika kalam dan angkara
Ceceran ingatan ini bukan Urd, Verdandi, atau Skuld
Melainkan sinyal parik pecut prajurit pelanduk

Menghimpun barisan hasrat pada lapangan apel
Saat otak tak lebih baik dari ceret penadah air remasan pel
Siklus hidup tak menjawab semua doa yang tertuang dalam lingkar lilin kapel
Tak juga memberi prozac pada degup keingintahuan cantrik gembel

Masa ditemani dan ditinggal bisu membuncah serupa gelaran tablo hantu laut
Hamparan cerap netra yang senihil nasionalisasi jutaan lahan gambut
Meraga dalam goresan baja pada plat dengan semangat yang sudah habis terparut
Mencantumkan dua nama pada nadir langkah gontai berselimut kabut


It's a Big Hope, Smal Action...
Mereka ada di sekeliling kita tapi tak pernah kita lihat mereka
Menjaring kebebasan kita pada strata limasan
Negara tanpa hirarki berpijak pada awan kelabu utopia
Membenamkan kanal-kanal pemikiran dalam beton pasca ledakan

Senada langgam institusi pendidikan dengan mental politik proyekan
Ladang carang tiruan yang membuahkan anggur asam
Petinggi yang melebamkan wajah anak didiknya dengan guratan ultimatum non-akademis
Yang merekapitulasi setiap harga pembangunan yang tak pernah mereka biayai

Duduk dan nikmati sebelum kami berubah menjadi hantu yang mengaliri kursi dengan desis eksekusi
Yang kecewa pada senandung melayu dari mulutmu yang bau


Suatu Hari Suatu Pagi...Pada Selembar Hentakan Cahaya Beku...
Di kala-kala malam menjadi kalam dan sakral menjadi profan
Sejumput kenangan terbawa angin jalang yang melacur hingga sisi peradaban
Ditengahi lengking-ratap kesakitan
Pada bangsal yang tergeletak pasca anfal yang membikin mual

Hari ini semua manusia menjerit
Disaingi derit pintu kebenaran, semua nyawa minta didengarkan
Melalui bait-bait terkutip, melalui foto-foto bernada klise identik
Melalui situs pencahar bahasa yang mendengungkan desah menjadi propaganda

Hari ini banal dikonsumsi serupa nasi
Dan terus diungkit kembali, seolah tanggal ekspirasi menjadikan isi kaleng makin bernutrisi
Pada ayah ibu yang terpencar ditengahi anaknya,
Juga pada anak nirajar yang menjauhi akar sanak familinya

Esok, ketika rupa menjadi tua, dan salib memenuhi seluruh lipatan raga
Ketika jiwa dan raga hanya terikat sehelai bulu mata
Ketika berharap hanya sesingkat mengedipkan mata
Mungkin kita telah terlambat menyadari bahwa hidup tidak dapat dipercepat, tidak juga lamat

Esok, ketika fajar menyibakkan mata yang tertutup berhala
Ketika hari kemarin telah menjadi jauh lebih panjang dari jalan ke depan
Ketika meraba momen beku membuat mata tenggelam dan terpejam
Basi kita menyadari, bahwa hidup selalu tentang kurasi

Rotten Life, Rotten Apple
Drawing pen on paper, 15x15cm, 2007


Setiap Orang Bisa Jadi Cantik

Sementara majalah kecantikan membuat anda merasa buruk
Sementara mode membuat anda merasa miskin
Sementara anda memperhatikan noda di wajah lebih banyak daripada memperhatikan asupan gizi
Sementara kapitalisme membuat anda percaya lebih baik mati muda daripada menghadapi penuaan dini
Sementara ketidakpercayaan terhadap karma membawa anda kepada kekurangajaran berlebih
Sementara anda berpikir sudut depresi 45 derajat pada lensa membuat rasio wajah lebih menarik
Sementara "Reg (spasi)" menjadi kitab suci baru dan pegangan hidup
Sementara bioskop menjadi kardiogram kontemporer yang membuat anda yakin anda masih hidup

Setiap orang sudah cantik
Sementara diri sendiri yang membuatnya buruk

K.V

Selasa, Juli 07, 2009

Kisah Tanpa Jejak Pelaku



Mencoba menikmati saat-saat paling menenangkan di kosan. 24 Jam merasakan nikmatnya tidur. 24 jam lainnya menikmati saat bangun, bergantian. Udara dingin yang sama, suasana hangat rumah yang mungkin tidak akan pernah dapat diulang lagi. Di sela-sela kesibukan, memundurkan ingatan pada beberapa tahun ke belakang, saat pertama kali menginjakkan kaki di Bandung, sebagai calon mahasiswa Seni Rupa ITB dengan semua keegoisannya.

Juni-Juli-Agustus, dan lalu, hupla! Semua dimulai begitu saja. Tanpa pernah bermimpi untuk meraih sesuatu. Tanpa pernah bermimpi untuk menggenggam sesuatu. Tanpa pernah terpikir untuk meraih sesuatu. Tapi segala sesuatu itu harus dimulai untuk dijalani. Entah terpaksa, entah terjebak, entah terasingkan.

Dan sekarang kaki masih berpijak pada bumi Parahyangan. Kota tinggi dikelilingi bebatuan cadas dan pegunungan menjulang. Danau purba yang menyimpan banyak kenangan tak terlupakan. Hari-hari sebagai mahasiswa baru yang disepelekan, hari-hari anak bawang yang tidak dipercaya, hari-hari sebagai teman baru yang diacuhkan.

Membangun makna lain pada kata Bangun Pagi Enak dan Bocah Tengil. Ikut mencoba tersenyum pada Pocari Sweat, Eh Ikutan Yuk!, Potensi, dan puluhan lainnya. Terima kasih kalian yang mewarnai hidup kami. Tahun-tahun berlalu tanpa terasa, walau getir-pahit, asam-manis, riuh-denyut, dan besar-bangga menodai perjalanan yang tampak begitu saja ditarik oleh garis takdir.

Terus berjalan dan lalu, kembali pada titik nol. Karena hidup itu panjang, tapi tidak terbatas, seperti lingkaran, berputar dan terus berputar. Jauh, tapi tetap kembali lagi. Jauh dan lebih jauh lagi tapi tetap kembali. Sejauh-jauhnya mencari timur, barat lagi, barat lagi. Dan seperti mereka akan pergi, nampaknya, seperti itu pula mereka akan kembali.